Pulau Bali telah lama masyhur ke antero dunia akan keindahan alam dan budayanya. Jutaan turis dari dalam dan luar negeri bertandang ke pulau ini setiap tahunnya. Rasanya kita tidak akan kehabisan objek wisata menarik untuk dikunjungi selama di sana. Sebutlah beberapa diantaranya tempat wisata yang telah akrab ditelinga kita, Pantai Sanur, Kuta, Tanah Lot, Istana Tampak Siring, Bedugul, Kintamani, pementasan Tari Barong dan lain-lain, yang seolah-olah tidak akan habis daya pesonanya.
Selain dianugerahi alam yang sangat indah dan seni budaya yang eksotis, pulau yang dijuluki Pulau Seribu Pura ini juga memendam banyak hal-hal unik yang bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Salah satunya ada di Kawasan Desa Bali Aga (Bali Kuna) Trunyan yang berada di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Desa kecil yang letaknya memencil di tepi Danau Batur dan di kaki Bukit Abang ini suasana kehidupan masyarakatnya masih menyiratkan corak masyarakat Bali tempo dulu dengan tradisinya yang masih dipegang kuat.
Salah satu tradisi desa adat Trunyan yang masih dijaga hingga kini adalah tradisi upacara kematian yang tidak ada bandingannya dengan daerah lain di dunia. Sebagaimana masyarakat Bali umumnya, Warga Desa Trunyan juga mengenal ngaben, namun di di desa ini mayatnya tidak dibakar. Di sini mayat mereka taruh begitu saja di sebuah areal hutan. Anehnya, mayat itu tak akan mengeluarkan bau busuk walaupun sudah disana selama berbulan-bulan.
Adat Desa Trunyan mengatur tata cara menguburkan mayat bagi warganya. Di desa ini ada tiga kuburan (sema) yang diperuntukan bagi tiga jenis kematian yang berbeda. Apabila salah seorang warga Trunyan meninggal secara wajar, mayatnya akan ditutupi kain putih, diupacarai, kemudian diletakkan tanpa dikubur di bawah pohon besar bernama Taru Menyan, di sebuah lokasi bernama Sema Wayah. Namun, apabila penyebab kematiannya tidak wajar, seperti karena kecelakaan, bunuh diri, atau dibunuh orang, mayatnya akan diletakan di lokasi yang bernama Sema Bantas. Sedangkan untuk mengubur bayi dan anak kecil, atau warga yang sudah dewasa tetapi belum menikah, akan diletakan di Sema Muda.
Mengapa mayat yang menggeletak begitu saja di sema itu tidak menimbulkan bau? Padahal secara alamiah, tetap terjadi penguraian atas mayat-mayat tersebut? Hal inilah yang menjadi daya tarik para wisatawan untuk mengunjungi lokasi wisata ini. Nah, konon sebabnya, di areal hutan tersebut terdapat sebuah pohon yang dikenal bernama Taru Menyan yang bisa mengeluarkan bau harum dan mampu menetralisir bau busuk mayat. Taru berarti pohon, sedang Menyan berarti harum. Pohon Taru Menyan ini, hanya tumbuh di daerah ini. Jadilah Tarumenyan yang kemudian lebih dikenal sebagai Trunyan yang diyakini sebagai asal usul nama desa tersebut.
Untuk mencapai Desa Wisata Trunyan, kita dapat berperahu motor dari desa Kadisan, Kintamani yang terletak sekitar 65 kilometer arah utara Kota Denpasar. Di Kintamani sendiri, kita akan dipuaskan oleh sajian panorama alam yang sangat eksotis. Perpaduan antara kilau air Danau Batur yang biru dengan latar belakang Gunung Batur yang menjulang. Ditambah dengan suhu udara yang sejuk, membuat suasana bertambah indah.
Desa Trunyan memiliki lima banjar (dusun), yang letaknya relatif berjauhan. Pusat desa ini adalah Trunyan, sebuah perkampungan yang terletak di tepi timur Danau Batur. Empat banjar lainnya adalah Banjar Madya, Banjar Bunut, Banjar Mukus, dan Banjar Puseh. Banjar Madya dan Banjar Bunut berada di sebelah selatan Desa Trunyan dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Karangasem. Dari Desa Trunyan ke Banjar Bunut butuh waktu sekitar dua jam berjalan kaki. Itu pun melewati jalan setapak dan mendaki Bukit Abang. Warga Trunyan menyebut diri mereka sebagai Bali Turunan, yaitu orang yang pertama kali turun dari langit dan menempati tanah Pulau Bali. Sementara penduduk Bali lainnya disebut Bali Suku yang berasal dari Jawa, yang menyebar masuk pada masa kerajaan Majapahit
Setelah berperahu kurang lebih 30 menit dari Desa Kadisan Kintamani, kita akan tiba di sisi lereng Bukit Abang yang menjulang kokoh bak sebuah benteng istana. Dari Desa Trunyan sendiri, kita mesti berperahu menyusur kaki bukit Abang menuju lokasi kuburan, sekitar sepuluh menit. Kita akan tiba di sebuah pura yang terletak di kaki lereng Bukit Abang bagian barat, di tepi Danau Batur. Pura Dalem, namanya. Tidak jauh dari pura tersebut berdiri sebuah dermaga kayu yang berada persis di depan sepasang candi gerbang menuju lokasi Sema Wayah.
Berdiri di pinggir Dermaga kayu, Lagi-lagi kita disajikan dua keajaiban alam yang kontras namun mempesona. Menoleh ke arah barat, menyeberangi Danau Batur dengan riak-riak kecil airnya yang biru, menjulang Gunung Batur yang gagah dengan puncaknya yang terlihat jelas. Namun, begitu menengok ke arah timur, sebuah pohon besar menaungi sebentuk altar batu yang membersitkan aroma magis. Tidak ada sesajen bunga atau buah layaknya altar persembahyangan, yang ada hanya puluhan tengkorak manusia yang berjejer rapi.
Tak perlu takut. Karena setiap kehidupan akan berputar pada satu arah yang pasti. Justru objek ini mengingatkan kita pada akhir kehidupan, yang membuat kita menjauh dari segala macam kesombongan dan keangkuhan.
Toyabungkah
Perjalanan kembali dari Desa Trunyan ke Kadisan, ada baiknya kita mampir sejenak ke kawasan wisata toyabungkah. Obyek wisata ini berupa sumber mata air panas alam. Objek ini banyak dimanfaatkan oleh wisatawan untuk merendam badan karena dianggap dapat menyembuhkan penyakit khususnya penyakit kulit. Airnya ditampung pada suatu kolam kecil yang terletak disebelah danau batur. Toyabungkah termasuk wilayah Desa Batur terletak dikaki Gunung Batur atau dipinggir Barat Danau Batur yang jaraknya kurag lebih 6 km dari Desa Kedisan, 38 km dari Kota Bangli, dan 78 km dari Kota Denpasar.
Secara geografis Kabupaten Bangli, tempat Desa Trunyan ini berada merupakan satu-satunya wilayah Propinsi Bali yang tidak memiliki garis pantai. Namun demikian, potensi pariwisata alam yang dimilikinya tidak kalah menarik untuk kita nikmati . Selain objek wisata Kawasan Batur, yaitu Gunung Batur dan Danau Batur yang berada pada ketinggian 900 m di atas permukaan laut dengan suhu udaranya berhawa sejuk pada siang hari, dan dingin pada malam hari, terdapat juga Keunikan lainnya yakni peninggalan purbakala, Prasasti Trunyan. Konon riwayatnya pada tahun Saka 813 (891 Masehi), Raja Singhamandawa mengizinkan penduduk Turunan (Trunyan) membangun kuil. Kuil berupa bangunan bertingkat tujuh ini merupakan tempat pemujaan Bhatara Da Tonta.
Kuil bertingkat tujuh ini dinamakan Pura Turun Hyang. Di dalamnya tersimpan arca batu Megalitik yang dipercaya dan disakralkan masyarakat Trunyan sebagai arca Da Tonta. Kuil ini dikenal pula sebagai Pura Pancering Jaga. Setiap dua tahun sekali di pura ini digelar upacara besar. Tepatnya pada Purnama Sasih Kapat. Masyarakat Trunyan merayakannya dengan pementasan tarian sakral, Barong Brutuk dan tari Sanghyang Dedari
sumber
--
Source: http://www.osserem.me/2011/12/tradisi-penguburan-mayat-yang-hanya.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com
0 komentar:
Posting Komentar