Membaca peristiwa 11 September 2001 atau lazim disebut tragedy 9/11, yakni penghancuran dua gedung kembar World Trade Center (WTC) oleh kelompok teroris yang merupakan simbol hegemoni kekuasaan Amerika (baca: Barat), dunia tidak hanya dituntut mengkaji persoalan terorisme dari sudut pandang historis, tetapi juga secara sinkronis. Alasannya, peristiwa 9/11 bukan sebagai realitas tunggal tentang terorisme yang terjadi di Amerika, melainkan mempunyai nilai hermeneutis untuk menjelaskan gambaran umum teror sebagai problem universal negara-negara di dunia, tak terkecuali Indonesia.
Satu dasawarsa peristiwa kelabu itu berlalu, namun masih memiliki daya tarik untuk diperbincangkan kembali dalam sudut pandang kekinian. Isu terorisme selamanya akan menduduki papan atas karena gerakan berbasis ideologi ini menjadikan AS dan sekutunya sebagai musuh abadi yang harus diperangi.
Tak pelak, kekuatan Barat menuding kelompok fundamentalis Islam sebagai pelaku utamanya dan menghajarnya tanpa ampun. Negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia didikte untuk segera memerangi kelompok fundamentalis yang diduga sebagai tempat bersemainya panji-panji teroris. Pesantren-pesantren diintai polisi, diawasi materi pelajarannya, diincar pengasuhnya sehingga citra pesantren sebagai tempat menimba ilmu agama tak ubahnya dapur santri untuk belajar meracik bom. Islam akhirnya menjadi tertuduh. Citra Islam tercoreng sebagai agama teroris. Padahal, tidak ada satu pun legitimasi doktrinal dalam Islam yang membenarkan tindakan teror. Bagaimana mungkin ada jalan terang menuju surga yang ditempuh dengan cara keji dan biadab.
AS sebagai yang menguasai media sesungguhnya telah melakukan penggiringan opini publik dengan memosisikan Islam (sebagai peradaban) dan Barat secara berhadap-hadapan. Persoalannya bukan berani atau tidak berani melawan AS dan sekutunya, tetapi orang akan gampang mafhum apa yang terjadi jika konfrontasi dua kutub berkekuatan raksasa itu benar-benar terjadi.
Sejak awal, Samuel Phillips Huntington telah melukiskan kemungkinan-kemungkinan terjadinya benturan peradaban antara Barat dengan Islam. Dalam bukunya berjudul "The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order" (1998), Huntington menuturkan bahwa benturan sivilisasi tidak dapat dihindari. Setelah perang dingin dan jatuhnya rezim komunis Rusia, pentas dunia akan segera diisi dengan benturan peradaban Barat dengan non-Barat. Ini berarti seluruh faktor esensial dunia, sendi-sendi kehidupan, dan hubungan antar bangsa, yakni peradaban, budaya, dan agama akan dikerahkan dalam sebuah konfrontasi.
John Naisbitt dalam "Megatrend 2000″ (1990: Bab IX) menulis bahwa abad 21 sebagai era spiritual yang ditandai oleh gejala Barat untuk kembali kepada spiritualitas Timur. Keadaan ini idealnya menjadi momentum untuk menurunkan tensi arogansi politik Barat untuk melihat kembali tata hubungan dengan Islam yang selama ini berjalan antagonis. Ini penting karena masalah terorisme erat kaitannya dengan dominasi dan identitas kelompok yang terabaikan.
Amerika (baca: Barat) yang mendominasi peradaban, kebudayaan dalam bentuk modal, teknologi dan organisasi, penguasaan terhadap media, sangat perlu untuk memulai sikap baru. Di era globalisasi, di mana kesadaran mengenai pluralisme mencapai puncaknya yang tertinggi, maka kesadaran itu harus diletakkan di atas kehidupan sepadan dengan kenyataan dan kesadaran tentang pluralisme peradaban, budaya, dan agama yang ada. Bagaimana bisa dikembangkan kehidupan penuh respek antara satu dengan yang lain sehingga keberagaman benar-benar menjadi berkah bagi semua orang, bukan sebagai petaka bagi kehidupan.
Proses globalisasi, pluralisme, dan dominasi bentuk peradaban, budaya, dan agama selayaknya ditanggapi dengan memberi kesempatan untuk hidup bagi kelompok-kelompok kecil dan lemah. Proses demokratisasi harus dimulai dengan dialog yang terbuka dan fair antarkomponen pluralisme. Clash peradaban yang ditulis Samuel Huntington, memang dilukis dalam hubungan yang tak seimbang antara Barat dan non-Barat, khususnya Islam. Yang mengerikan adalah apabila clash tersebut justru melemahkan dan memusnahkan kepercayaan akan perlunya komunikasi dan dialog yang dijalankan.
Dialog tidak lain adalah usaha untuk menghalangi tindakan dengan alasan apa pun untuk melecehkan manusia dalam hubungan yang berdasar pada pembenaran untuk membunuh satu sama lain. Analogi astronomi Ptolomeus yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta (geosentrisme), selayaknya digantikan dengan astronomi Copernicus yang menyatakan bahwa bumi hanya menjadi satu bagian kecil daripada alam semesta yang sangat besar (heliosentrisme).
Dengan kata lain, pada masa sekarang ini tidak ada peradaban, budaya, dan agama yang bisa mengklaim dirinya selaku pusat tunggal bagi kenyataan peradaban, budaya, dan agama lain yang bercorak plural. Persoalannya justru bagaimana secara dewasa kita bisa hidup dalam keberagaman itu dengan menerima dan mengakui pusat-pusat kehidupan yang berbeda. Itulah salah satu dimensi yang perlu dikembangkan agar dua kubu peradaban itu tidak terjatuh dalam kubangan konfrontasi yang mematikan bentuk-bentuk pengabsolutan "klaim kebenaran"
Kejangggalan-Kejanggalan Seputar Tragedi 9/11 WTC
Pukul 8.45 WTC diserang. Sedangkan Bush sedang asik memberikan dongeng seekor kambing kepada anak TK hingga pukul 9.05 bahkan menyempatkan diri untuk foto bareng dengan para murid dan guru dulu. Apa mungkin seorang presiden AS tidak panik dan batalkan seluruh acaranya begitu mendengar negaranya di serang teroris.
Lebih Lengkap Tentang Keteribatan Israel (Yahudi) Sebagai Dalang Tragedi 9/11 Bisa Dilihat Disini
Amerika adalah negara yang konon super canggih, bila ada peristiwa kebakaran saja regu penyelamat dalam hitungan menit langsung sigap ke TKP tapi masuk akalkan dalam kondisi kritis seperti ini seorang Presidennya sangat lambat responnya? [ruanghati.com]
Jangan lupa di like...
--
Source: http://osserem.blogspot.com/2011/09/foto-sepuluh-tahun-tragedi-911.html
~
Manage subscription | Powered by rssforward.com
0 komentar:
Posting Komentar